MEDAN |Pemerintah terus mendorong petani peserta Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk meningkatkan kontribusi mereka dalam proyek biodiesel nasional. Kebutuhan tambahan minyak sawit mentah (CPO) mencapai 6,6 juta ton guna mendukung peningkatan bauran biodiesel dari B-40 menjadi B-50, menciptakan peluang besar bagi petani sawit rakyat untuk memperkuat nilai ekonomi perkebunan mereka.
Di era pemerintahan Presiden Prabowo, swasembada energi dengan fokus pada energi nabati dari kelapa sawit menjadi prioritas utama. Melalui program PSR, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas dan produktivitas sawit rakyat, yang saat ini baru mencapai sekitar 40% dibandingkan perkebunan perusahaan.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Triwidarto, menegaskan bahwa PSR memiliki peran strategis dalam meningkatkan kesejahteraan petani sawit sekaligus produksi nasional. “Untuk proyek biodiesel B-50 saja, kita butuh tambahan 6,6 juta ton minyak sawit mentah. Jika memilih ekstensifikasi, kita memerlukan tambahan 2,3 juta hektare lahan perkebunan,” ujar Heru dalam acara *Spotlight of Indonesia Palm Oil Issues* (SIOP) 2024 di Medan, Rabu (13/11).
Acara yang digelar oleh GAPKI Sumut, bekerja sama dengan *Bisnis Indonesia* dan didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), bertujuan mempercepat implementasi PSR di Indonesia. Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS, Achmad Maulizal, mencatat bahwa sejak 2016 hingga 2024, program PSR telah menjangkau 251.637 hektare di 21 provinsi, melibatkan 154.936 petani.
“Kami berkomitmen memperluas jangkauan program ini. Hingga saat ini, hampir 155 ribu petani telah menerima manfaatnya,” ujar Achmad. Ia menambahkan, PSR menjadi instrumen penting dalam mendukung kesejahteraan petani sekaligus mendukung pencapaian target biodiesel nasional.
Namun, Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, menyebutkan bahwa implementasi PSR masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari tidak lengkapnya dokumen petani, proses administrasi yang rumit, hingga sulitnya pembuatan peta poligon karena biaya tinggi dan terbatasnya sumber daya lapangan. “Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengatasi kendala ini,” katanya.
Program Peremajaan Sawit Rakyat Didorong Jadi Penopang Utama Proyek Biodiesel B-50
Terkait pendanaan, Eddy menjelaskan bahwa kebutuhan biaya peremajaan sawit cukup besar, berkisar antara Rp100,54 juta hingga Rp112,42 juta per hektare. Meskipun nilai bantuan PSR telah dinaikkan dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare, GAPKI mengusulkan agar dana tambahan berasal dari kombinasi BPDPKS dan skema pinjaman.
“Kami menghargai kenaikan nilai bantuan, tetapi untuk menutup kekurangan, sumber pendanaan harus lebih variatif. Dukungan pinjaman menjadi solusi yang layak,” tegas Eddy.
Selain itu, banyak petani masih enggan mengikuti PSR karena khawatir kehilangan pendapatan selama masa tanaman belum menghasilkan. Eddy menekankan pentingnya peran perusahaan sawit untuk menjembatani tantangan ini melalui kemitraan strategis.
Melalui sinergi antara petani, pemerintah, dan perusahaan, PSR diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani, mendukung kebutuhan biodiesel nasional, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terkemuka di dunia.